Jika melihat sekilas penampilannya, siapa yang mengira pria kelahiran 16 September 1969 ini berprofesi sebagai seorang dokter. Jari tangannya dipenuhi oleh cincin-cincin dengan berbagai macam jenis batu termasuk juga liontin kalung yang dikenakannya.
Pria yang ramah dan suka bergaul ini bercerita, ia memakai cincin ini sudah sejak kecil. Hobinya ini bermula, diajarkan oleh orangtuanya sejak ia duduk dibangku SD.
“Dari kecil sudah diajarkan oleh orang tua memakai cincin sebagai hiasan. Kalau kita anak laki-laki hiasannya itukan cincin batu. Dari SD sudah mulai pakai cincin,” ujarnya membuka pembicaraan kepada harian ini.
Tetapi dokter jebolan Unand ini benar-benar menggilai batu-batu ini sebagai perhiasan itu sejak empat tahun belakangan. Ia sudah bisa mengerti dan mencari bahan sendiri. Kalau dulu beli, sekarang ia mencari dan membuat sendiri.
“Ini untuk menyenangkan diri, membuat saya bisa tampil beda dari orang lain. Dengan memakai batu ini saya juga bisa menjadi percaya diri. Tetapi semata-mata untuk hiasan saja, jangan sampai syirik dan percaya dengan hal-hal yang tidak masuk akal,” kata bapak lima anak ini.
Disamping itu ia juga yakin dari hobi walaupun kadang dianggap sepele, mencari batu tanpa modal jika ditekuni ini bisa menjadi sumber pendapatan. Hanya ia belum ada mengarah ke sana, cuma sebatas hobi.
“Tetapi yang saya ingin sampaikan, bahwa tidak susah mencari uang. Tergantung motivasi dan mau belajar. Contohnya, dengan hobi saya ini bisa menghasilkan uang, dari mencari batu ke sungai dijadikan cincin ini punya nilai jual. Bahannya tidak dibeli, hanya ambil dari alam setelah kita proses punya nilai jual. Kan gampang cari uang,” timpalnya seraya membolak balik koleksi batu yang ada di tangannya.
Tetapi memang prosesnya butuh waktu, harus punya ilmu supaya bahan yang didapat bisa menjadi bagus dan indah dipandang mata. Dan mempunyai nilai jual.
Dari sekian banyak koleksi batunya, yang kelihatan sangat mencolok adalah batu kecubung Jambi yang dikenakannya. Betapa tidak, ukuran batunya yang besar dan bisa memehuhi semua jarinya.
“Batu ini dapat bahan dari Sarolangun, kecubung Jambi dengan motif kristal lokan empat tingkat. Saya bikin utuh sesuai dengan aslinya. Batu ini ada sepasang, satu lagi dipakai oleh istri saya yang juga hobi batu. Ini cincin terbesar di nusantara, bahkan mungkin di dunia,” tutur Sephelio yang sudah berprofesi sebagai dokter sejak tahun 1999 ini.
Saat ini ia cukup banyak mengoleksi jenis batu, sekarang ini yang ia tonjolkan itu badar besi, ini langka didapat orang dan rata-rata orang dapat yang warna hitam. “Kalau saya punya warna hijau, merah, ada yang panca warna dan pancar. Itu masih bahan belum berupa barang jadi,” sebutnya.
Ketika ditanya soal harga dan berapa kocek yang harus dirogohnya untuk mendapatkan batu-batu yang ia inginkan, Sephelio tidak bisa menilainya. Menurutnya, harga itu relatif karena barang ini punya nilai bagi orang yang hobi dan mengerti batu.
“Kalau bagi orang yang tidak mengerti. Contohnya kecubung Jambi punya saya ini Rp 10 Juta saya tidak mau jual, ini saya dapat di Sarolangun. Mencari batu ini belum tentu bisa ketemu lagi, sudah empat tahun belum dapat saya bahan seperti ini,” tukasnya.
Untuk mendapatkan batu, ia lebih suka mencari bahan sendiri. Ia turun ke lokasi, sengaja menghabiskan waktu akhir pekan kalau ada waktu luang bersama istri untuk berburu batu. “Istri juga pakai hiasan batu, kebetulan hobi batu setelah nikah dengan saya,” tuturnya.
Baginya, dengan mencari langsung ada kepuasan tersendiri. Apalagi semenjak dirinya tertipu, ia pernah beli zambrut ternyata bukan asli, padalah ia beli waktu itu bersama cincinnya Rp 21 juta dan waktu dijual itu hanya cincinya dihargai Rp 8 Juta. “Batu saya tidak dihargai, karena palsu,” sebutnya.
Semenjak itu ia mencari batu yang asli dan mencoba mencari bahan sendiri kemudian diolah menjadi barang jadi. Ketika jalan keluar daerah, melihat ada tumpukan batu atau sungai yang dangkal serta berbatu ia menyempatkan dirinya untuk singgah Ia mendapatkan ilmu mengenai batu ini secara otodidak.
“Misalnya, batu masih bahan kalau orang melihat di jalan tidak mau diambil, tapi setelah saya olah kalau tarok di jalan pasti hilang. Jadi saya sekarang tidak mau beli lagi. Saya melihat kualitas batu itu secara alami, melihat tingkat kritalisasinya, melihat motif secara manual, diadu sesama batu dan dengan pencahayaan.Adabatu yang tipenya sudah bagus dan tembus cahaya, ada juga tidak tembus cahaya tetapi bagus. Batu itu secara alami bisa kita temukan, dari motifnya ada gambar burung, serigala, tulisan Allah, Muhammad dan lain sebagainya,” jelasnya.
Lantas bagaimana ketika bertugas menangani pasien, diakuinya ketika menjalankan tugas sebagai dokter ia melepas semua koleksinya dari tangannya. Usai kerja, ia pakai lagi. “Waktu kerja itu saya buka. Tetapi di luar saya pakai, di luar jam kerja saya pernah dikira dokter aneh, ada juga yang bilang ini dokter atau dukun. Karena melihat koleksi batu saya,” tandasnya.
0 Response to "Kisah Seorang Dokter yang Dikira Dukun"
Posting Komentar