Semenjak saat itu, bebatuan dengan ciri yang sama, memiliki warna merah darah, dinamai Le Sang du Christ atau Blood Stone. Dari jarak ribuan tahun itu, kini batu dengan corak yang sama dijumpai di Kota Perwira, tepatnya di Sungai Klawing. Batu ini dipamerkan mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) sebagai bagian dari tugas mata kuliah Batu Mulia.
Dari penelitian Siswandi ST MT, dosen mineral batuan, batu mulia yang ada di Klawing ini terbentuk kurang lebih 25 juta tahun silam. Batu ini terbentuk dari proses vulkanik saat gunung berapi bawah laut memuntahkan lava super panas dan menimpa endapan dasar laut. Setelah membeku, terbentuklah batu ini.
Lapisan batu ini kemudian terangkat ke permukaan dalam proses tektonik. Lapisan kulit bumi mengalami pergeseran dan patahan sehingga batuan yang semula di dasar laut terangkat ke permukaan. “Jadi daerah perbukitan Bobotsari dulunya dasar laut,” ujar Siswandi.
Serpihan batuan yang terangkat ini yang kemudian ditemukan dan dimanfaatkan warga menjadi berbagai hiasan. Hasil olahan batu ini kini memiliki nilai ekonomi tinggi. Batu ini diolah menjadi perhiasan pada cincin, liontin, gelang, kepala ikat pinggang dan hiasan interior. Tak sedikit pula yang menjadikan batu ini sebagai azimat ala kejawen karena dinilai bertuah. “Yang disayangkan, justru banyak dari daerah lain yang mengangkut batu ini dan mengolahnya,” kata dia.
Siswandi mengatakan, dari kajian Mineralogi, warna pada batuan ini karena proses oksidasi saat pembentukannya. Warna merah, berasal dari oksida besi atau Fe. Sementara warna hijau tua berasal dari oksida magnesium atau Mg, dan warna coklat dari oksida mangan.
Muhammad Hanif, Ketua Panitia Pameran mengatakan, pameran ini dihelat selain untuk memenuhi tugas kuliah juga untuk mengangkat nama batu Klawing ini menjadi batu identitas khas Klawing. Batu ini bisa dijumpai di manapun, namun orang akan tetap menyebutnya batu Klawing. “Gem Stone Exhibition ini kami memilih tema Back to Local Resource, harapannya bisa menjadikan batu Klawing ini menjadi ID stone dari Purbalingga,” ujar mahasiswa semester empat ini.
Sementara Bisma Salimudin, komunitas pencinta batu Klawing, mengatakan, batuan ini masuk dalam batuan sedimen jenis Kalsedon. Ada dua varian dari beberapa jenis Kalsedon, di antaranya Jasper dan Agate. Jesper memiliki ciri warnanya yang pekat dan solid sehingga tidak dapat membiaskan cahaya. Sementara Agate cenderung transparan. “Sebenarnya banyak variannya, tapi dua ini yang banyak dipamerkan di sini,” kata mahasiswa Teknik Geologi semester delapan ini.
0 Response to "Asal-Usul dan Sejarah Batu Kali Klawing"
Posting Komentar